Setiap tanggal 2 Mei, Indonesia memperingati Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) sebagai momentum untuk merefleksikan kemajuan dan tantangan dunia pendidikan. Di tahun 2025, tema Hardiknas mengangkat isu “Pendidikan Indonesia yang Belum Teroptimalkan”, menyoroti berbagai ketimpangan dan inefisiensi yang masih menghambat terwujudnya sistem pendidikan berkualitas. Meskipun pemerintah telah mencanangkan berbagai program transformatif, nyatanya masih banyak siswa, guru, dan sekolah yang belum merasakan dampak signifikan dari upaya tersebut.
Salah satu persoalan utama yang masih menganga adalah kesenjangan akses pendidikan antara wilayah perkotaan dan pedesaan. Di kota besar, fasilitas sekolah modern dengan teknologi digital sudah menjadi hal biasa, sementara di daerah terpencil, banyak siswa harus belajar di ruangan yang kurang layak dengan minimnya sarana pembelajaran. Ketimpangan ini semakin memperlebar jurang kualitas pendidikan, membuat anak-anak di pelosok kesulitan bersaing di tingkat nasional maupun global.
Kualitas guru juga menjadi faktor kritis yang belum sepenuhnya teroptimalkan. Meski program sertifikasi dan pelatihan guru terus digencarkan, banyak pendidik yang masih kesulitan mengikuti perkembangan metode pembelajaran kekinian. Kurikulum yang terlalu kaku dan berbasis hafalan turut menghambat pengembangan kreativitas dan kemampuan berpikir kritis siswa. Akibatnya, hasil asesmen nasional dan survei internasional seperti PISA menunjukkan bahwa kompetensi siswa Indonesia masih tertinggal dibandingkan negara-negara lain.
Di era digital ini, teknologi seharusnya menjadi solusi untuk memeratakan akses pendidikan. Namun, kenyataannya, banyak sekolah di daerah tertinggal yang belum terjangkau jaringan internet memadai atau bahkan listrik yang masih belum mendapatkan aksesnya. Program digitalisasi sekolah yang dicanangkan pemerintah belum merata implementasinya, sehingga manfaatnya belum dirasakan secara adil. Hal ini semakin memperparah ketidaksetaraan peluang belajar, terutama bagi siswa dari keluarga kurang mampu.
Angka putus sekolah juga masih menjadi masalah serius, terutama di kalangan masyarakat ekonomi lemah. Tekanan finansial seringkali memaksa anak-anak usia sekolah untuk bekerja membantu keluarga, mengorbankan masa depan pendidikan mereka. Program bantuan seperti Kartu Indonesia Pintar (KIP) memang membantu, tetapi cakupannya belum menyentuh semua yang membutuhkan. Tanpa intervensi lebih masif, generasi muda Indonesia berisiko kehilangan kesempatan untuk keluar dari lingkaran kemiskinan.
Momentum Hardiknas 2025 seharusnya menjadi pengingat bahwa pendidikan adalah pondasi kemajuan bangsa. Dibutuhkan komitmen lebih kuat dari semua pemangku kepentingan—pemerintah, swasta, masyarakat, dan dunia pendidikan—untuk mempercepat perbaikan sistem. Mulai dari pemerataan infrastruktur, peningkatan kualitas guru, hingga penyesuaian kurikulum yang lebih relevan dengan kebutuhan zaman.
Pendidikan Indonesia di 2025 masih jauh dari kata optimal, tetapi bukan berarti tidak ada harapan. Dengan kolaborasi dan langkah konkret, kita bisa mewujudkan sistem pendidikan yang inklusif, merata, dan berkualitas. Hardiknas tahun ini harus menjadi titik balik untuk memperjuangkan pendidikan yang lebih baik, karena hanya dengan pendidikanlah Indonesia bisa menciptakan generasi unggul yang siap menghadapi masa depan.



